Rabu, 19 November 2008

Akankah Cinta Menyapanya

Nat. Mengingat namanya saja membuat hatiku sungguh terasa ngilu. Tatapan matanya yang selalu menyiratkan rasa sepi dibalik tawanya yang riang dan gayanya yang lincah kini mulai membuka tabir misteri yang selama ini selalu disembunyikannya dengan rapi sekali. Seandainya waktu dapat diputar kembali, aku ingin sekali lagi duduk di depannya dan menawarkan bahu seorang sahabat untuk mencurahkan segala kisahnya.
Nat yang kukenal sebagai gadis yang benar-benar luar biasa, karena hampir setiap hari dia tidak pernah merasakan yang namanya jutek. Senyum dan tawa ngakaknya seolah menjadi ciri khas seorang Nat yang kasar sama cowok. Banyak teman, itulah satu hal yang membuatku iri dengannya. Kuakui, walaupun kami bisa dibilang sahabat baik, namun tidak sepenuhnya aku rela terhadap hal yang Nat miliki. Cara dia bicara, tatapan matanya yang cerah dan senyumnya yang selalu membuatku merasa tenang , semuanya ingin kumiliki. Aku ingin seperti Nat. Itulah prinsip yang bertahta di benakku sampai hari itu. Hari yang mengubah hidupku 180 derajat. Hari yang memperbolehkanku melihat siapa Nat yang sebenarnya.

******

Hari itu Senin yang membosankan, aku dan Nat nongkrong di kantin sambil melihat-lihat adik-adik kelas yang sedang berolahraga. Kami berdua tertawa saat melihat salah satu anak terjatuh saat akan melempar bola ke ring. Kukerlingkan mataku menatap Nat, kuperhatikan tawanya, sungguh manis, Cintia yang terkenal sebagai primadona kelas saja masih kalah dengan tawa Nat. Nat yang menyadari kalau sedang kuperhatikan langsung saja menegurku,”Hayo, ngeliat apa? Memang ada yang aneh pada wajahku?”. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman. Dan Natpun kembali meneruskan kegiatannya mengamati anak-anak kelas satu. Tidak ada yang salah pada wajahmu Nat, semuanya baik-baik saja, terlalu baik bahkan.
“Eh, Re, coba deh liat anak yang itu!”Teguran Nat mengagetkanku. “Eh… apa, mana?”Balasku tergagap.”Itu tuh! yang lagi kejar-kejaran di sudut lapangan!”Pintanya tak sabar.Kupicingkan mataku mencoba mencari apa yang Nat katakan. “Oh…itu toh? Emang kenapa?”, Tanyaku yang heran dengan tingkah Nat.”Gak pa-pa!”Balasnya pendek. Kuminum es tehku yang tinggal separo saat Nat menggumamkan kata-kata yang asing di telingaku,”Mirip Ian ya?”. “Apa Nat?” Tanyaku terkejut. Dia menoleh dan memandangku sejenak, lalu kembali menunjukkan senyum mautnya padaku dan menggelengkan kepalanya.Sampai bel tanda istirahat usai, Nat tak pernah lagi menyinggung-nyinggung kata-katanya tadi.
Sebenarnya mungkin bagi setiap anak, kata-kata Nat tidak ada artinya. Tapi yang kuherankan, selama tiga tahun aku bersahabat dengan Nat, tidak pernah sekalipun Nat mengucapkan kata “Ian “ dalam setiap percakapanku dengannya. Memang kami pernah ngobrol tentang cowok, bahkan sering. Tapi siapa lagi itu”Ian”, kenalpun kagak. Sebagai cewek, naluri ikut campurku mulai timbul. Dalam hatiku mulai bertanya-tanya siapa Ian. Jika saja itu adalah anak yang Nat sukai, bagaimanapun caranya aku harus menjadikan mereka berdua pasangan, karena jujur saja, jika Nat sudah punya pacar, maka otomatis dia akan lebih memilih menghabiskan waktu dengan pacarnya ketimbang dengan teman-temannya sehingga akhirnya justru aku yang lebih banyak mempunyai teman dan lebih terkenal dibanding dengan Nat. Gagasan yang jahat menurutku, tapi aku sudah tak tahan menghadapi Nat. Selalu saja Nat yang diperhatikan, selalu saja Nat yang dilihat, dan selalu saja Nat yang dibicarakan. Padahal aku jauh lebih menarik daripada Nat yang hanya mengandalkan senyumnya untuk memikat hati orang-orang di sekitarnya.
Malam itu segera kutelepon Nat dengan Hp-ku. “Halo, Nat, nonton yuk di twenty one!”Ajakku. Kuambil kunci mobilku dan kulajukan di jalanan ibukota. Sesampainya di Twenty One, kulihat Nat sedang menungguku di depan loket. Dia melambaikan tangan saat tahu akan hadirku. Dan dengan berlari-lari kecil, aku menghampirinya. “Kok tumben, hari gini ngajak nonton?” Tanya Nat sedikit heran.”Pengen aja, eh..sebentar aku beliin tiket dulu ya!”Dia hanya mengangguk patuh. Setelah mendapat tiket yang kami inginkan, kami segera membeli pop corn dan dua gelas jus sirsak sebelum masuk ke bioskop.
Sebelum film dimulai, kuperhatikan wajah Nat sedikit gelisah menatap Hp-nya yang berdering terus.”Ada apa Nat?”Tanyaku.”mama”, jawabnya pendek sambil terus gelisah. “Sebentar ya.. aku mau keluar dulu, ada telepon!”sambil beranjak berdiri dan langsung saja menuju pintu keluar. Kuawasi sosoknya yang tinggi semampai dengan rambut yang dikuncir kuda menghilang perlahan-lahan ke pintu exit. Setelah beberapa menit, dia kembali .”Siapa?” tanyaku penasaran.”Bukan siapa-siapa !”jawabnya sambil mengunyah pop corn.
Kami mampir ke cafĂ© sebelum pulang. Terangnya lampu di sana membuatku sadar bahwa ada yang tak beres dengan Nat. Wajah Nat yang biasanya merona kini pucat. Dia yang biasanya penuh senyum dan semangat, kini berganti Nat yang lesu . Dan saat kugandeng tangannya tadi, terasa sangat dingin sekali.”Nat, kamu gak pa-pa?”selidikku.Dia menatap ke arahku dan kulihat bahwa keletihan yang sangat telah menguasainya. Dia menggeleng dengan lesu.”Re, bisa tolong antarkan aku ke pantai Re?”tanyanya padaku. Aku tak mengerti apa yang terjadi padanya.”Re?” . Aku terkejut,”Ya..ya..ayo!”.
Kulajukan mobilku dengan kecepatan sedang menuju pantai. Di perjalanan kubiarkan Nat asik melamun. Kurem mobilku ketika kami sudah sampai di tepi pantai. Nat segera membuka pintu mobil diikuti olehku. Dia merebahkan dirinya di pasir pantai yang dingin dan lembut. Aku duduk di sampingnya. Dalam heningnya malam kami saling mengunci mulut.Cukup lama .
“Re, sekarang tanggal berapa?”tanyanya padaku sambil tetap menatap laut .”20 April, besok kita upacara hari Kartini di sekolah!”. Dia manggut-manggut. Tiba-tiba dia duduk .”Sekarang hari ulang tahun Ian”. Aku menoleh padanya, tak mengerti dengan apa yang dia katakana. Dia kembali menatap laut dan mulai menceritakan kisahnya.”Ian, Ian”. Dia berhenti sejenak, mengambil nafas panjang dan mulai bercerita lagi.”Satu orang dalam hidupku yang sanggup membuatku menunggu hingga bertahun-tahun. Kami bertemu 8 tahun yang lalu. Ketika masih SD. Waktu itu aku masih kecil. Aku tak tahu pasti dengan apa yang kulakukan. Dulu aku pendiam, sering murung, gampang nangis. Tapi semenjak dia datang , perlahan aku mulai berubah. Lalu ketika aku mulai menikmati perubahanku, dia pergi…jauh sekali.. aku gak tahu di mana dia sekarang. Tapi sebelum dia pergi,dia berjanji akan kembali jika saatnya tiba. Namun setelah sekian tahun, aku tidak pernah lagi mendengar kabar darinya. Mungkin, kamu menganggapnya lucu Re. Cinta monyet mungkin. Tapi, semakin dewasa, aku semakin rindu akan sosoknya. Selama 8 tahun, kucoba untuk tersenyum menghadapi sepi. Kucoba tuk mencintai orang lain. Tapi apa nyatanya, gak bisa…..tetap saja gak bisa….. Saking kapoknya, aku mulai menjauhi cowok dan bersikap kasar pada mereka. Kadang aku iri padamu Re. kamu gak punya beban menunggu”. Nat mengakhiri ceritanya dengan setetes air mata. Untuk pertama kalinya, aku merasa sakit. Walaupun bukan aku yang mengalaminya, aku merasa seperti ada yang mengiris-iris hatiku dan tak terasa air mataku meleleh dan tenggelam dalam heningnya pantai.
Malamnya kutatap surat warna pink di tanganku. Ketika akan pulang tadi, Nat menyerahkan surat ini kepadaku. “Re, jika dia kembali kapanpun, tolong berikan surat ini padanya!”Pinta Nat.Aku masih tak mengerti mengapa Re menyerahkan surat yang dia buat untuk Ian kepadaku. Teringat kisah Nat membuatku terenyuh. Dan kudekap surat itu dalam tidurku.
Besoknya aku berangkat sekolah dengan hati yang tak keruan. Cerita Nat masih terngiang-ngiang di benakku. Aku merasa bersalah atas anggapanku terhadap Nat selama ini. Hari ini kuputuskan untuk meminta maaf padanya. Sekolah tampak mulai ramai. Kulangkahkan kakiku ke arah kelasku, dan heran ketika teman-temanku banjir air mata. Ada apa ini pikirku. Didorong rasa penasaran, aku berlari melewati lapangan basket dan tiba di depan kelas dengan nafas yang masih ngos-ngosan.
Dan ketika kulihat ke dalam, jantungku berdegub kencang. Orang tua Nat .
Ketika melihatku datang, beliau segera menerjangku dengan tangis dan memelukku. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi. Dan aku tak butuh waktu lama untuk tehu bahwa Nat telah berpulang pada-Nya. Tepat setelah kami jalan-jalan. Dari ibunya aku tahu , ternyata selama ini Nat mengidap penyakit kanker otak. Dan yang paling membuat hatiku hancur adalah ketika aku tahu bahwa Nat meminta habis-habisan pada ibunya untuk bertemu denganku tadi malam. Dia tak ingin membuatku kecewa. Dia ingin bersamaku untuk terakhir kalinya.
Aku menyesal…. Sungguh menyesal. Aku tidak kuat lagi untuk menahan air mataku sehingga kubiarkan dia menetes deras.
Hari itu aku tak ikut pelajaran dengan izin sakit. Kubawa mobilku menuju pantai tempat terakhir kali aku bersama Nat. Kurasakan angin pantai yang dingin menyerbuku. Masih kupegang surat yang Nat berikan padaku malam itu. Kupandang surat itu lama sekali. Kini kusadari bahwa ada satu hal yang membuat Nat berbeda denganku, berbeda dengan yang lain. Tabah, itulah yang membedakannya dengan anak seumurannya pada umumnya. Bisa dibayangkan betapa sakitnya saat kita harus tersenyum menutupi hati yang hancur, tanpa air mata menetes dari mata kita. Itulah yang Nat sanggup lakukan pada dirinya. Mengunci rapat pintu hatinya dan membiarkannya beku untuk selamanya.
Nat. Satu-satunya sahabat yang membuatku “melihat” lebih luas. Mengapa justru meninggalkanku di saat aku mulai tahu arti dirinya bagiku. Kenapa Tuhan begitu tak adil. Dia mengambil seorang bidadari dari sisiku. “Laut yang biru, sebiru hati Nat yang selalu rindu akan perihnya cinta!”Teriakku.”Akankah cinta dapat menyapanya sekali lagi!”Raungku. Namun yang terdengar hanya deru ombak yang hampa.

******

Sepuluh tahun sejak kejadian itu. Kini aku sudah mempunyai keluarga. Kadang saat aku mulai menidurkan anak-anakku, sering sekali kuceritakan tentang sahabat mamanya yang begitu luar biasa. Dan ketika kusadar, mereka terlelap. Aku mulai beranjak tidur dan memohon dalam doaku untuk bertemu denganmu dalam mimpiku. Sambil menggenggam suratmu untuk Ian yang dulu kau berikan padaku, akupun membawa segala kenangan kita dalam bunga tidurku. Walaupun sampai saat ini Ian belum kutemukan, tapi aku yakin suatu saat nanti, atau mungkin di masa yang lain, Cinta kan menyapamu sekali lagi, dengan sentuhan sayap-sayapnya yang lembut, dan membawa Ian kembali padamu. Aku yakin itu Nat. Percayalah.


By: Hanna Mutiara P

1 komentar:

Mulyoto mengatakan...

Bagus sekali! Cerpennya bagus sekali. Hebat. Terus berkarya!