Rabu, 26 November 2008

HANTU ANAK IBU KOSKU

“Fiuhhh.....” desahku sambil menghapus peluh yang bercucuran di dahiku. “Sudah selesai Yan?” Sina melongokkan kepalanya lewat pintu kamarku yang terbuka. “Sudah, wah aku capek banget Sin!” jawabku. “Kamu sih bawa barang banyak banget,” Sina duduk di pinggir ranjangku. “Maklumlah aku kan baru pertama kali ini jadi anak kos,” aku menepuk pundak Sina. “Aku juga tapi barang bawaanku sedikit, nggak banyak kayak kamu!”. “Hehehe.....” aku meringis lebar.

Namaku Ni Wayana Rima, asalku dari Bali, umurku baru enam belas tahun dan esok adalah hari pertamaku sekolah di SMA Rajawali yang berada di kota Bandung, jauh dari kota asalku. Mulai saat ini aku akan tinggal di tempat kos bersama teman baikku yang bernama Ni Luh Sina (dia juga dari Bali). Hari pertama berada di Bandung kulitku langsung memerah dan gatal-gatal, biasa aku paling alergi dingin.

“Yan, kulitmu masih gatal?” Sina meneliti lenganku. “Agak mendingan kok!”. “Baguslah kalo begitu, jangan sampai kambuh lagi ya! Masak kamu mau sekolah dengan kulit bentol-bentol sich? Ini kan hari pertamamu masuk,” ujar Sina menggebu-gebu. “Iya juga sich, eh tapi Sin kamu ngerasa aneh nggak dengan kos kita ini?” tanyaku mencoba mengalihkan suasana. “Kenapa?”. “Kos kita ini kan bagus, kamarnya juga lumayan gede trus letaknya strategis tapi kenapa kok gak ada yang mau kos di sini ya?” tanyaku setengah berbisik. “Mungkin kurang promosinya,” jawab Sina tak kalah pelan. “Apa mungkin ada hantunya ya?” ucapku asal-asalan. “Huusshhh..... jangan ngomong gitu ah, pamali tau!” Sina mencoba mengingatkan. “Tapi kan.....”. “Sudahlah jangan membicarakan itu lagi, lebih baik kamu sekarang istirahat. Pasti kamu kamu capek banget kan habis benah-benah segini banyaknya?” sela Sina cepat. Aku mengangguk lemas menanggapi perkataan Sina. “Kalo gitu aku ke kamarku dulu ya, aku juga mo istirahat, biasa tidur!” Sina melangkah pergi. “Tapi ini kan masih sore?” bantahku keras namun Sina tetap cuek dan melangkah keluar kamarku.

Seperginya Sina aku merebahkan diri di ranjang sambil membuka-buka majalah donal bebek kesukaanku. Selang beberapa lama kemudian mataku terpejam lelah, tiba-tiba terdengar suara tangis bayi memenuhi setiap sudut kamarku. Pelan-pelan kubuka mataku, antara sadar dan tidak aku melihat sekelebat bayangan wanita berbaju putih dan hidungku mencium aroma mewangian bunga kenanga. “Ya Tuhan!” teriakku kaget kala melihat ada anak bayi tidur tepat di bawah ujung kakiku. Dengan takut-takut kuberingsut mendekati anak bayi tersebut, agak ragu-ragu kusentuh bayi itu tapi.....”Hah hilang?”. Aku mundur beberapa langkah diselimuti rasa takut yang hebat berharap anak bayi itu tak muncul lagi namun yang terjadi malah diluar dugaanku, bayi itu muncul lagi di bawah kakiku dan bahkan memegang kaki kiriku. “Aaaaa.....”

Aku terbelalak seketika, “Ah, cuma mimpi buruk.” masih dengan nafas tersenggal-senggal aku berusaha berdiri dari ranjang. Badanku terasa capek dan pegal-pegal, “Mungkin aku salah tidur,” ujarku pada diri sendiri. Kutengok jam weker berbentuk donal yang berada di atas meja belajarku, kedua jarumnya menunjukkan angka dua dan dua belas. “Masih terlalu dini untuk bangun, lebih baik aku tidur lagi. Tapi kalo aku tidur lagi kira-kira mimpi buruk lagi gak ya?” batinku. Lama kucoba untuk tidur lagi tapi sedikitpun mataku tak mau berkompromi.

Berusaha membuang rasa jenuh aku jalan-jalan keluar kamar, kubuka pintu samping rumah dan kemudian berputar-putar di sekitar halaman rumah kos. Udara dingin serasa menusuk tulang igaku, kulitkupun mulai memerah dan gatal. Kurapatkan jaket parasit pemberian nenek kesayanganku, badanku terasa agak hangat.

“Huacchiii.....” flu mulai menyerangku, gigiku gemeletuk menahan dingin. Tak terasa langkahku sampai juga di belakang rumah kosku, di sana terdapat sebuah tandon air dan beberapa pohon mangga. Entah kenapa mataku terus tertuju ke atas tandon air, dalam keheningan itulah tak kusangka air mengucur turun dari atas tandon air dengan derasnya. Tinggi tandon airpun berubah memanjang beberapa meter lalu dari balik rimbunnya dedaunan pohon mangga keluar wanita berbaju putih sambil menggendong anaknya yang masih bayi. Dengan ketakutan kuamati wanita itu, sedikitpun kakinya tak menyentuh tanah. “Tolong..... tolong..... tolong anakku..... tolong.....!” ucap hantu wanita tadi sambil bergerak mendekatiku, dari biji matanya menetes air mata berwarna merah seperti darah.

“A....apa yang bi..... bisa kutolong?” dengan susah payah kugerakkan lidahku. “Anakku, anakku di dalam tandon air!” suaranya dingin dan kaku. “A.... anakmu kan k.... kam.... mu gen..... dong,” jawabku. “Tolong..... tolong.... tolong anakku!” hantu wanita itu meraih tanganku. “Jangaaannn..... jangan ganggu aku!” ujarku meronta-ronta melepaskan diri. Hantu itu semakin memegangku erat, dengan susah payah akhirnya kudapat melepaskan diri dan berlari ke dalam rumah. Dengan tergesa-gesa kukunci pintu kamarku dan membenamkan kepala di bawah bantal.

“Wayannn..... bangun! Sudah siang nih, hei bangun.....!” Sina menggedor-gedor pintu kamarku. “Iya iya aku bangun,” kubuka pintu kamarku. “Ni Wayana Rima, tadi malam kamu tidur jam berapa sich? Kok sekarang kesiangan,” omel Sina mirip nenek-nenek tua. “Memangnya sekarang jam berapa?” tanyaku masih dengan mata setengah terpejam. “Heh bangun Wayan, buka matamu! Ini sudah jam setengah enam!” Sina memukuli pipiku berusaha membuatku sadar. “Yang benar?” seruku terkejut sambil menyambar handuk yang tergantung di balik pintu.

Siangnya sepulang sekolah, aku dan Sina duduk-duduk terlebih dahulu di depan kelas. Akupun menceritakan pengalamanku tadi malam yang bisa dibilang menggerikan kepada Sina. “Imajinasimu terlalu tinggi Yan,” ucap Sina menanggapi. “Aku gak mengarang Sin, itu kenyataan! Rumah itu berhantu,” ujarku dengan nada meninggi. “Baiklah itu nyata tapi apa kau bisa buktikan?” tantang Sina. Aku terdiam ragu. “Hei Wayan, gimana? Setuju tidak?”. “Baiklah,”. “Siang ini juga,”. “Mana ada hantu di siang bolong!” bentakku. “Ok, ok..... entar malam.” jawab Sina jengkel.

Hari berganti malam dengan cepat, udaranya dingin dan mencekam. Rembulan bersinar terang tapi tak ada satu bintangpun yang menghiasi langit. Aku sedari sore sengaja tak memejamkan mata, tubuhku meringkuk di atas kasur ditemani jaket dan selimut tebal sambil memeluk boneka donal bebek (tokoh idolaku) sedangkan pintu kamar kubuka lebar dan lampu kunyalakan terus.
Riza Aisyah Sukarno
7A SBI

Seperti yang telah kuduga tepat pukul dua suara tangis bayi itu kembali terdengar, penuh rasa takut kucoba bangkit turun dari atas ranjang. “Darah?” tercengang aku menatap lantai kamar kosku dibanjiri cairan darah. “Sinaaa..... Sinaaa.....!” aku berlari ke arah kamar Sina. “Ada apa Yan?” Sina tergopoh-gopoh menghampiriku. “Darah di kamarku, ada darah di lantai kamarku!” kuajak Sina ke kamarku. “Oh Dewata Agung,” seru Sina kala melihat suasana kamarku. Lantai kamarku masih penuh akan darah, di ranjangku tidur seorang bocah bayi mungil dan disampingnya duduk hantu wanita yang tempo lalu aku temui di halaman belakang kosku sedang membelai bayi itu. “Wayan, kau benar.” ucap Sina pelan. Aku mendekam punggung Sina dengan erat dan memejamkan mata tak berani melihat.

Keesokan harinya kami menceritakan semua kejadian tadi malam kepada ibu kos dan dari situlah kami tahu misteri apa yang telah terjadi. “Dulu aku punya seorang anak gadis bernama Lena. Suatu hari almarhumah suamiku berniat menikahkannya dengan seorang saudagar tua tapi terkenal kaya di kampung sini, anakku menolaknya katanya dia sudah mempunyai kekasih. Suamiku tetap memaksa dan tidak mau mendengar penjelasan Lena, akhirnya Lena kabur dari rumah dan menikah diam-diam dengan kekasihnya. Beberapa bulan kemudian setelah lama mencari kesana kemari akhirnya suamiku menemukan tempat persembunyian Lena, lalu dia mengajak Lena pulang dengan paksa. Suatu malam Lena melahirkan bayi hasil pernikahannya dengan kekasihnya, bayinya laki-laki dan lucu. Tahu Lena melahirkan, suamiku marah besar, dia mengambil bayi itu dan membunuhnya dengan cara ditenggelamkan ke dalam tandon air yang ada di belakang rumah. Sedangkan Lena sendiri bunuh diri di kamarnya yang sekarang menjadi kamar Wayan.” jelas ibu kosku panjang lebar. Setelah mendengarnya tanpa menunggu lebih lama lagi, aku dan Sina bersegera pindah dari situ ke tempat kos baru yang lebih nyaman.

“Semoga arwah putri Ibu tenang dan bisa cepat kembali diterima disisi-Nya.” pamitku pada ibu kos

RIZA 7A SBI

Tidak ada komentar: